Perjalanan
di masa remaja yang membawaku tepat diruang itu. Ruang dimana aku mengenal
ambisi dan perjuangan. Dimana aku belajar arti hidup yang sesungguhnya. Dimana
aku mengenal arti kebersamaan, dan dimana aku memahami apa itu cinta. Masa-masa
kenaikan kelas pun mulai terasa ketika harus memilih jurusan dan harus
beradaptasi dengan teman baru, ruang baru dan hidup baru. Tak terlalu buruk
ketika menemukan teman yang mampu menerima dan membuka tangan untuk saling
menggenggam. Seperti yang banyak di bicarakan orang hanya beberapa pria yang
masuk jurusan sains, aku tlah terbiasa dengan itu. Di ruang ini lah aku bertemu
dengannya, orang yang membuat aku takjub dalam sekejap, orang yang membuat aku
bertanya-tanya dengan hatiku, orang yang membuat aku tak henti menatapnya dalam
diam. Ia berjalan memasuki ruang kelas dengan santainya, entah apa yang membuat
aku tertegun akan sosoknya. Awal pertemuan ku dengannya hanya sebatas itu, aku
tak pernah tau tentangnya, mendengar namanya pun begitu asing di telingaku, aku
tak pernah mengenalnya namun sekilas sosoknya mampu membuat hati aku
terhenti.
Awal
semester baru pun dimulai, proses adaptasi pun terus berjalan mengenal dan
saling mengenal dengan teman baru yang akan menemani hari-hariku dua tahun
kedepan. Begitupun dengan ia, aku mencoba mengenalnya sekalipun aku tak berani
menyapanya. Banyak ku dengar cerita tentangnya walau aku tidak pernah mencoba
mendekatinya. Sosok dinginnya yang membuat semua wanita enggan mendekatinya,
sosok tertutupnya yang membuat orang lain hanya mampu menerka-nerka tentangnya,
sosok diamnya yang membuat aku ingin lebih dekat dengannya. Semuanya masih
berjalan normal layaknya sebatas keluarga dalam ruang kelas. Tak ada garis yang membatasi ruang gerak kita, aku
bisa dekat dengannya sekedar bertegur sapa sesama teman kelas. Aku bisa dekat
dengannya, duduk di sampingnya untuk beberapa hari, ketika itu aku memintanya
untuk menjagaku dari pria lain yang ingin menggangguku. Sikapnya biasa, cueknya
yang hanya melakukan hal yang ia yakini baik. Aku merasa nyaman berada di
dekatnya. Aku merasa aman disampingnya tanpa pernah tau apa yang ada dalam
fikirannya, dan apa yang dia rasakan saat itu. Sikap juteknya yang membuat aku
semakin ingin mengenalnya. Sampai suatu hari aku terjebak dalam pertanyaan yang
membuat semuanya menjadi rumit. Aku yang selama ini hanya mampu mengaguminya
dalam diam ku, kini tak lagi diam.
Setelah
terungkap dalam kesalahan kecil yang membuat semuanya tau akan kekagumanku
terhadapnya. Seketika itu aku berusaha menghindarinya, namun semakin aku
menghindarinya semakin kuat rasa ku terhadapnya. Beruntung dengan sikap cueknya
yang tidak pernah terpengaruh dengan apa yang di dengarnya. Sikap tertutupnya
yang tidak pernah mengizinkan siapapun mengenal dia lebih jauh. Ia yang slalu
menjaga jaraknya dengan lingkungannya. Namun, ternyata ia tak seapatis yang aku
bayangkan. Sekedar mengirim pesan singkat yang menunjukan sikapnya terhadap apa
yang di dengarnya. Ia mempertanyakan atas rasaku terhadapnya. Dan ia memintaku
untuk membuka hati dengan yang lain, ia berhati-hati untuk tidak menyakitiku,
dan ia berteguh dengan prinsipnya yang tak ingin berpacaran. Tapi anehnya, ia
tidak melarangku untuk berjuang dan dengan kalimatnya yang seolah menyiratkan
harapan atas rasaku. Hal itu yang membuat aku semakin yakin dan tak ingin
berhenti. Tak sampai disitu entah apa yang membuat aku benar-benar jatuh pada
sosok misterius ini. Sosok yang sulit untuk aku tebak, sosok yang sulit untuk
aku pahami, namun semakin dingin sikapnya semakin aku ingin mengenalnya. Entah
apa yang aku rasakan sekedar kagum, penasaran atau memang ini yang dinamakan
cinta pada pandangan pertama. Tak henti aku bertanya pada hatiku tentang
rasaku, rasa yang tak bisa aku pahami dengan diamku. Kenyataannya aku telah
terjatuh dengan sosoknya.
Setahun
berlalu aku berdiri dengan hatiku, keyakinan yang aku rasakan di awal pertemuan
itu membuat aku berjuang dalam diamku. Aku dengan kenyakinan ku yang telah
menjatuhkan hatiku padanya, aku dengan keyakinan ku percaya akan jiwanya,
sekalipun aku tak pernah mengenal jiwanya. Ia yang selalu aku ceritakan pada
Rabb ku, namanya yang selalu aku lampirkan dalam setiap doa-doa ku, ia yang
selalu aku pinta dalam harapku, dan ia yang selalu aku rindukan dalam doaku.
Semenjak aku memilih untuk bertahan atas rasaku tanpa pandangannya, aku yang
tak pernah berani mendekatinya dalam fisik, aku yang tak pernah berani untuk
menyapanya dalam sapa, aku yang tak pernah berani berbica tentang rasaku,
aku yang takut dengan kecewa, dan aku
yang memilih diam. Hanya bisa menatapnya dari jarak di batas dua buah meja di
depan mataku, aku yang hanya bisa menikmati senyumnya di balik tumpukan buku,
aku yang hanya bisa memperhatikannya dari barisan terakhir di belakangnya.
Masih tak bisa aku pahami apa yang tengah aku perjuangkan dalam diam ku. Namun,
tak di pungkiri rasa ini membawa aku lebih dekat dengan Rabb ku. Aku yang tak
bisa berharap atas sosoknya, hanya bisa berharap kepada-Nya. Aku yang tak bisa
menyapa raganya, hanya bisa berdoa kepada-Nya. Aku yang tak bisa berjuang dengan
ragaku, hanya bisa berulang-ulang menyelipkan namanya dalam setiap sujud.
Tak
hanya mencoba mengenalnya lebih dekat, aku pun mencoba mengenal keluarganya.
Banyak hal yang tlah aku lakukan untuk mencoba lebih dekat dengannya. Sekalipun
tak sedikit pahit yang aku telan, dengan semua responnya yang hanya dengan
kalimat singkat. Setidaknya aku bahagia pernah berjuang sejauh ini.
Kenyataannya sekalipun restu orang tua telah didapati tetap kembali pada
sosoknya yang akan menjalani. Tak hanya perhatian dalam kata, perlakuanpun
pernah aku berikan. Tapi aku tak pernah mendapatkan jawaban atas rasaku. Hanya
mampu menerka dan meyakini hatiku bahwa ia juga merasakan hal yang sama dalam
diamnya. Aku pun merasakan sedikit keterbukaan hatinya atas ragaku. Sekalipun
aku belum benar-benar bisa mengisi hidupnya. Ia mengajariku arti sabar, arti
ketulusan dan ia mengajariku arti penantian yang sesungguhnya. Aku mencoba
mengikuti jalannya, mengikuti prinsipnya. Ia mampu mengantarku dalam jalan Rabb
ku. Tak banyak kata yang dia ungkap hanya setiap perilaku yang ia tunjukan yang
membuat aku sadar bahwa jika aku ingin dicintainya aku harus mencintai
pemiliknya.
Aku
berhenti berjuang dengan ragaku ketika rasa kecewa menghampiriku. Kisah ku
dengannya yang bukan rahasisa publik nyatanya tak sesuai dengan faktanya.
Ketika aku merasa di khianati oleh orang yang tak lain temanku. Ketika aku tau
bahwa ada kedekatan khusus diantara mereka. Seketika aku merasa hancur walaupun
aku tau, kenyataannya aku tidak pernah benar-benar memilikinya. Aku tak pernah
mengetahui tentang kedekatan mereka, namun perlahan sikap mereka yang membuat
aku menerka-nerka. Pernah aku coba bertanya tentang kebenarannya, namun
perjanjian yang telah terikat membuat mereka enggan membuka kebenarannya. Dan
disini aku berhenti berjuang.
Dua
tahun berlalu perjuangan yang telah aku akhiri.
Aku mencoba membuka hatiku untuk sosok lain, perlahan aku mengikuti alur
waktu yang membawaku dalam dunia baru tanpa sosoknya. Orang lain yang mampu
membawa aku dalam hidupnya dengan terbuka. Orang yang membawa aku terlarut
dalam dunianya, dunia yang tak pernah aku temukan. Membuat aku lupa akan
hidupku, lupa akan batinku. Keindahan dan kebahagian yang berbeda yang aku
dapati, sekalipun hal itu salah untuk dilakukan. Sekedar berbagi tawa, saling
menggenggam tangan, berbicara berdua di sudut kursih, ketika tidak ada jarak
atas ragaku dan ragamu. Normal bagi orang lain, namun aku menemukan arti
berbeda dari cara menjaga, menghormati dan menyayangi seseorang. Ketika raga ku
berada dengan orang yang saat ini mengisi hidupku, namun hati ku nyatanya masih
tetap tertuju pada dia, ia yang mampu membuat aku jatuh dalam diamnya.
Tahun
ketiga dimana dulu aku memulai semua penantian ini. Hal yang tak pernah aku
duga terjadi, ia kembali menyapa hidupku. Entah apa yang membuat dia berubah
dari diamnya. Mungkin lingkungan yang ia tempati saat ini yang membuat ia
berbalik arah. Tak di pungkiri aku bahagia mendengar namanya kembali, aku
bahagia bisa bertegur sapa bersamanya. Namun, aku menyadari dengan posisiku
saat ini semuanya tidak mungkin bisa berjalan. Kebimbangan pun hadir, hatiku
tergoyahkan kembali dengan sosoknya. Aku tak bisa mengelak bahwa aku masih
bertahan untuknya, bahwa rasa ku tak pernah mati untuknya, dan bahwa aku masih
berharap dalam doaku untuk bisa bersamanya. Aku percaya Allah selalu mendengar
setiap doa yang kita panjatkan, Allah tak pernah tidur, dan tak ada perjuangan
yang sia-sia. Hanya masalah waktu dan keadaan yang menjawab semuanya. Begitu
pun hari ini, aku percaya ini jawaban dari doa ku di tahun pertama aku
berjuang. Doa yang aku sampaikan pada Rabb ku, dan aku siarkan kepadanya serta
ia amin kan. Pesan yang pernah aku siarkan kepadanya; “Mungkin kamu tak pernah
tau, tapi Allah selalu tau, dalam setiap doa ku, inginku bukan sebatas harap..’
Allah persatukan aku dengan dia, aku ingin dia yang menjadi imam ku dalam
jalanmu, dia yang pertama dan terakhir yang melingkarkan cincin di jari manis
tangan kananku, dia yang akan menjemputku dari kedua orang tua ku, dan mengucap
ijab kabul atas nama-Mu dan untuk beribadah kepada-Mu. Dia yang menggenggam
tangan ku saat aku terpuruk, dia yang senantiasa menguatkan ku, memberikan
senyum dan kasih sayangnya, yang selalu mengingatkan ku dari semua khilafku,
dan senantiasa menuntunku dalam jalan lurus-Mu..’ Aminn...”. Sebait doa yang
pernah aku lantunkan kepada Rabb ku, mungkin ini jawaban atas doa ku, ia
kembali dengan jiwanya menyapa hidupku. Walau aku tak pernah tau apa tujuannya
dia kembali disini.
Ketika
aku dihadapkan dengan mimpiku, mimpi yang selama ini aku nantikan tanpa fikir
panjang seketika aku meninggalkan dunia baruku. Aku memutuskan ikatanku dengan
kekasihku. Dan aku kembali dengan mimpiku, kembali dengan harapan-harapan yang
telah aku tutup, kisah lama yang aku buka kembali. Tiada keraguan ketika aku
memutuskan untuk kembali. Meski aku tau aku masih belum menemukan jawabannya.
Meski aku tak pernah tau arah dari kisah ini. Aku hanya mencoba yakin dengan
apa yang aku yakini. Kali ini aku bisa menyentuh hidupnya. Ia yang mulai
membuka hati dan hidupnya, ia yang tak lagi diam tanpa kata, ia yang tak lagi
acuh terhadap sekelilingnya, ia yang tak lagi hanya diam menyimpan jawabnya.
Perlahan waktu membawa kita bertemu kembali disatu ruang, aku yang masih tak
percaya dengan kenyataan, dengan raganya, dengan jiwanya, yang nyatanya ia yang
dulu aku kenal tak sama dengan ia yang kini datang. Sikapnya yang perlahan
mencoba menyetuh hidupnya, mencoba mengenal aku dengan keterbukaannya, mencoba
meyakinkan aku bahwa yang ada dihadapanku kini itu nyata. Bahwa raga dan
jiwanya kini benar-benar ada dalam hidupku. Bahwa aku pernah ada dalam hatinya.
Meski tak pernah terucap nyata di bibirnya.
Tiga
bulan berlalu setelah ia kembali disni. Aku masih di tempat yang sama, dimana aku
bertanya-tanya tentang kisah kita. Dimana aku masih belum menemukan jawabannya.
Dimana aku masih tak memahami arah tujuan ini. Dimana aku kembali lelah
berjuang dalam penantian tak pasti. Suatu hari aku menanyakan kebenarannya,
jawaban atas semua perjalanan yang kita lalui, jawaban atas rasaku. Dan
kenyataannya masih sama. Ia masih berdiri dengan prinsipnya. Hari demi hari
kita lewati tanpa sebuah status pasti. Perlahan keraguan mulai menghantui ku,
dengan jarak ratusan kilo meter yang membatasi kita. Dengan waktu yang
membatasi pertemuan diantara kita. Aku mulai kalah dengan jiwaku. Ketika aku
inginkan satu kepastian yang nyata atas kisah kita.
Di
bulan September, seperti tiga tahun sebelumnya aku selalu ingin memberikan yang
terbaik untukmu di hari pergantian usiamu. Tak banyak yang bisa aku berikan,
mungkin ini tahun pertama ketika ia mau menerima apa yang aku berikan, dan
melihatnya bahagia dengan itu. Selang waktu dua bulan, aku pun melewati
pergantian usiaku. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini terasa
berbeda. Dengan adanya dia disini yang menjawab semua perjuanganku, dan ada hal
lain yang ia berikan. Aku bahagia menerimanya, walau sedikit heran atas
sikapnya dan alasannya memberikan itu.
Setahun
terakhir dekat dengannya memiliki arti tersendiri untukku, ia yang mulai
memahamiku, mengenalku, menerima aku. Ia yang dengan tegas mengingatkan aku
dalam khilafku, ia yang memberikan energi baru untuk ku dalam menjalani hidup,
ia yang membawaku melukis mimpi indah bersama dilangit tinggi, ia yang
menuntunku kembali ke jalan lurus-Nya, ia yang mengingatkan ku dalam agamaku,
ia yang mengajariku dengan imamnya, dan ia yang menguatkan ku dengan imanku.
Perlahan ia mengenal keluargaku, ia mendekatkan diri dengan orang tuaku,
sekalipun aku tak pernah berani menyebut namanya di depan orang tua ku. Ia
dengan caranya mengimbangi hidupku, ia dengan caranya menjagaku, ia dengan
caranya menyadarkanku bahwa status sementara hanya akan membuat kita berjarak.
Ia yang meyakinkan ku bahwa mimpi itu dapat kita raih suatu hari nanti.
Namun
semakin lama semakin aku merasa bosan dengan ini, entah apa yang membuat aku
muak dan lelah. Aku berontak dengan hatiku, hal yang tak pernah aku duga, ia
mau menurunkan egonya, ia mau melepaskan prinsipnya ketika aku mencoba untuk mengikuti
jalannya. Satu hal yang dia ucapkan tentang alasannya merubah prinsipnya ialah,
“mungkin ini satu-satunya cara untuk menjagamu”. Ia berucap rasa takut akan
kehilanganku, ia berucap rasa sayangnya kepadaku. Selalu ada hal menakjubkan
yang ia berikan dengan caranya, cara mencinta yang berbeda. Mungkin itu yang
membuat aku bertahan sejauh ini, yang membuat aku selalu yakin dengan hatiku.
“Dalam
sujud aku bersyukur atas segala rahmat dan rasa yang engkau beri, Ridhoilah
setiap langkah ku hari ini, esok dan seterusnya. Dalam setiap langkah,
perbuatan, atas nama-Mu dan tak lebih mengharap ridho-Mu. Ya Rabb setiap apa
yang engkau beri, ku yakini itu yang terbaik, dan engkau telah mempertemukan
aku dengan dia dengan semua jalan yang tlah engkau gariskan. Itu pula yang
menjadi alasanku, aku mencintainya karena –Mu ya Allah, engkau yang telah
menghadirkan rasa itu, dan memberikan satu dari berjuta kasih sayang-Mu, lewat
dia dan kita bersatu atas izinmu untuk menuju jalan yang engkau ridhoi..”
Aku
merasa dekat dengan Allah ketika aku dekat denganmu, ketika kamu menjadi imam
dalam shalatku, ketika itu aku meminta dalam sujudku “Ya Rabb biarkan ia
satu-satunya yang menjadi imamku”.
Di
bulan juli semua keindahan itu menjadi nyata, ia mulai mencoba mengikuti
ambisiku. Semua berawal di bulan suci berharap semua keputusan dan jalan yang
kita ambil menemukan yang terbaik dari yang baik. Namun ternyata dengan adanya
status tak membuat semuanya menjadi lebih baik. Perjalanan kita tak bertahan
lama, mungkin salah mengambil keputusan hanya karena ambisi. Dan tak bisa di
hindari setiap perpisahan selalu meninggalkan jejak, menghadirkan jarak dan
batas, yang menunjukan bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Dan sejak saat itu
semuanya berubah, tak ada sapa, tak ada kata seolah semuanya asing kembali.
Dua
bulan kemudian aku mendengar kabar tentangnya, ia yang sedang sakit di
tempatnya. Sekalipun aku mencoba menutup telinga dan hatiku, aku tak bisa
melawannya bahwa aku masih peduli dengannya. Mencoba mencari berita tentangnya
nyatanya hal buruk yang aku terima. Seolah tak percaya dengan penyakit yang
cukup serius yang dia alami. Sedikit penyesalan selalu terlintas difikiranku.
Ingin berucap maaf dan memastikan keadaannya, namun jarak menghalangi. Dua
minggu kemudian ia di pindahkan ke rumah sakit di kota ku, dimana orang tua nya
tinggal disini. Aku berniat untuk melihatnya, dan tak pernah terbayangkan
seperti apa keadaannya. Hari kelima ia dirawat disini aku baru bisa
memberanikan diri untuk menyapanya. Dan sesampainya aku disana tak terasa air
mataku mengalir deras, melihat ia terkaku diam di tempat tidur. Sesal dan sesal
yang aku telan dalam diam ku menatapnya, namun tak ada yang bisa ku lakukan
lagi, selain berharap kesembuhannya. Rasa tak ingin beranjak dari tempat itu,
namun senja telah menjemputku untuk kembali pulang. Sesampainya di rumah aku
mendapat kabar yang membuat jantungku terhenti seketika. Aku menerima kenyataan
bahwa ia tak ada lagi di dunia ini, bahwa Allah telah menjemputnya untuk
pulang, dan ia benar-benar pergi dari hidup aku. Tepat sebulan sebelum hari
ulang tahun ku, pedih rasanya menghadapi kenyataan bahwa semua perbedaan dan
hal yang ia berikan selama ini tak lain dari salam perpisahan. Kenangan yang ia
ukir sebelum ia benar-benar pergi.
Terpuruk
dalam tangis aku mengantarkan kepergiannya, namun satu hal yang aku dapati
bahwa kita tidak pernah benar-benar memiliki, bahwa ia hanyalah titipan dari
Rabb-Nya. Semenjak kepergiannya, aku mulai takut dengan kematian, aku mulai
menyadari bahwa cinta Allah teramat besar terhadap hambanya. Dan sekali lagi
untuk terakhir kalinya, kepergiannya membuat aku kembali pada Rabb ku, kembali
di jalan lurus-Nya. Hanya al-quran yang mampu menyampaikan rinduku kepadanya,
dalam sujudku aku berdoa untuk kebahagiaanmu di alam sana. Dan aku ingin
menjalankan pesanmu untuk aku berhijrah dengan jilbab ku. Memahami bahwa semua
pesan yang ia berikan tak lain untuk kebaikanku dan iman ku. Aku menguatkan
hatiku untuk beristiqomah dengan hijrahku. Menguatkan iman ku dengan ayat Al-Quran. Terimakasih telah membuat aku jatuh
cinta untuk kedua kalinya pada Allah dengan tangan kananmu. Mengajariku
istiqomah dengan cintaku terhadapmu dan mempertemukanku dengan hatiku,
begitupun istiqomah dengan cintaku terhadap Rabb ku.