Class

Senin, 13 Februari 2017

ISTIQOMAH CINTAKU


Perjalanan di masa remaja yang membawaku tepat diruang itu. Ruang dimana aku mengenal ambisi dan perjuangan. Dimana aku belajar arti hidup yang sesungguhnya. Dimana aku mengenal arti kebersamaan, dan dimana aku memahami apa itu cinta. Masa-masa kenaikan kelas pun mulai terasa ketika harus memilih jurusan dan harus beradaptasi dengan teman baru, ruang baru dan hidup baru. Tak terlalu buruk ketika menemukan teman yang mampu menerima dan membuka tangan untuk saling menggenggam. Seperti yang banyak di bicarakan orang hanya beberapa pria yang masuk jurusan sains, aku tlah terbiasa dengan itu. Di ruang ini lah aku bertemu dengannya, orang yang membuat aku takjub dalam sekejap, orang yang membuat aku bertanya-tanya dengan hatiku, orang yang membuat aku tak henti menatapnya dalam diam. Ia berjalan memasuki ruang kelas dengan santainya, entah apa yang membuat aku tertegun akan sosoknya. Awal pertemuan ku dengannya hanya sebatas itu, aku tak pernah tau tentangnya, mendengar namanya pun begitu asing di telingaku, aku tak pernah mengenalnya namun sekilas sosoknya mampu membuat hati aku terhenti. 
Awal semester baru pun dimulai, proses adaptasi pun terus berjalan mengenal dan saling mengenal dengan teman baru yang akan menemani hari-hariku dua tahun kedepan. Begitupun dengan ia, aku mencoba mengenalnya sekalipun aku tak berani menyapanya. Banyak ku dengar cerita tentangnya walau aku tidak pernah mencoba mendekatinya. Sosok dinginnya yang membuat semua wanita enggan mendekatinya, sosok tertutupnya yang membuat orang lain hanya mampu menerka-nerka tentangnya, sosok diamnya yang membuat aku ingin lebih dekat dengannya. Semuanya masih berjalan normal layaknya sebatas keluarga dalam ruang kelas. Tak ada  garis yang membatasi ruang gerak kita, aku bisa dekat dengannya sekedar bertegur sapa sesama teman kelas. Aku bisa dekat dengannya, duduk di sampingnya untuk beberapa hari, ketika itu aku memintanya untuk menjagaku dari pria lain yang ingin menggangguku. Sikapnya biasa, cueknya yang hanya melakukan hal yang ia yakini baik. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Aku merasa aman disampingnya tanpa pernah tau apa yang ada dalam fikirannya, dan apa yang dia rasakan saat itu. Sikap juteknya yang membuat aku semakin ingin mengenalnya. Sampai suatu hari aku terjebak dalam pertanyaan yang membuat semuanya menjadi rumit. Aku yang selama ini hanya mampu mengaguminya dalam diam ku, kini tak lagi diam.
Setelah terungkap dalam kesalahan kecil yang membuat semuanya tau akan kekagumanku terhadapnya. Seketika itu aku berusaha menghindarinya, namun semakin aku menghindarinya semakin kuat rasa ku terhadapnya. Beruntung dengan sikap cueknya yang tidak pernah terpengaruh dengan apa yang di dengarnya. Sikap tertutupnya yang tidak pernah mengizinkan siapapun mengenal dia lebih jauh. Ia yang slalu menjaga jaraknya dengan lingkungannya. Namun, ternyata ia tak seapatis yang aku bayangkan. Sekedar mengirim pesan singkat yang menunjukan sikapnya terhadap apa yang di dengarnya. Ia mempertanyakan atas rasaku terhadapnya. Dan ia memintaku untuk membuka hati dengan yang lain, ia berhati-hati untuk tidak menyakitiku, dan ia berteguh dengan prinsipnya yang tak ingin berpacaran. Tapi anehnya, ia tidak melarangku untuk berjuang dan dengan kalimatnya yang seolah menyiratkan harapan atas rasaku. Hal itu yang membuat aku semakin yakin dan tak ingin berhenti. Tak sampai disitu entah apa yang membuat aku benar-benar jatuh pada sosok misterius ini. Sosok yang sulit untuk aku tebak, sosok yang sulit untuk aku pahami, namun semakin dingin sikapnya semakin aku ingin mengenalnya. Entah apa yang aku rasakan sekedar kagum, penasaran atau memang ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Tak henti aku bertanya pada hatiku tentang rasaku, rasa yang tak bisa aku pahami dengan diamku. Kenyataannya aku telah terjatuh dengan sosoknya.
Setahun berlalu aku berdiri dengan hatiku, keyakinan yang aku rasakan di awal pertemuan itu membuat aku berjuang dalam diamku. Aku dengan kenyakinan ku yang telah menjatuhkan hatiku padanya, aku dengan keyakinan ku percaya akan jiwanya, sekalipun aku tak pernah mengenal jiwanya. Ia yang selalu aku ceritakan pada Rabb ku, namanya yang selalu aku lampirkan dalam setiap doa-doa ku, ia yang selalu aku pinta dalam harapku, dan ia yang selalu aku rindukan dalam doaku. Semenjak aku memilih untuk bertahan atas rasaku tanpa pandangannya, aku yang tak pernah berani mendekatinya dalam fisik, aku yang tak pernah berani untuk menyapanya dalam sapa, aku yang tak pernah berani berbica tentang rasaku, aku  yang takut dengan kecewa, dan aku yang memilih diam. Hanya bisa menatapnya dari jarak di batas dua buah meja di depan mataku, aku yang hanya bisa menikmati senyumnya di balik tumpukan buku, aku yang hanya bisa memperhatikannya dari barisan terakhir di belakangnya. Masih tak bisa aku pahami apa yang tengah aku perjuangkan dalam diam ku. Namun, tak di pungkiri rasa ini membawa aku lebih dekat dengan Rabb ku. Aku yang tak bisa berharap atas sosoknya, hanya bisa berharap kepada-Nya. Aku yang tak bisa menyapa raganya, hanya bisa berdoa kepada-Nya. Aku yang tak bisa berjuang dengan ragaku, hanya bisa berulang-ulang menyelipkan namanya  dalam setiap sujud.
Tak hanya mencoba mengenalnya lebih dekat, aku pun mencoba mengenal keluarganya. Banyak hal yang tlah aku lakukan untuk mencoba lebih dekat dengannya. Sekalipun tak sedikit pahit yang aku telan, dengan semua responnya yang hanya dengan kalimat singkat. Setidaknya aku bahagia pernah berjuang sejauh ini. Kenyataannya sekalipun restu orang tua telah didapati tetap kembali pada sosoknya yang akan menjalani. Tak hanya perhatian dalam kata, perlakuanpun pernah aku berikan. Tapi aku tak pernah mendapatkan jawaban atas rasaku. Hanya mampu menerka dan meyakini hatiku bahwa ia juga merasakan hal yang sama dalam diamnya. Aku pun merasakan sedikit keterbukaan hatinya atas ragaku. Sekalipun aku belum benar-benar bisa mengisi hidupnya. Ia mengajariku arti sabar, arti ketulusan dan ia mengajariku arti penantian yang sesungguhnya. Aku mencoba mengikuti jalannya, mengikuti prinsipnya. Ia mampu mengantarku dalam jalan Rabb ku. Tak banyak kata yang dia ungkap hanya setiap perilaku yang ia tunjukan yang membuat aku sadar bahwa jika aku ingin dicintainya aku harus mencintai pemiliknya.
Aku berhenti berjuang dengan ragaku ketika rasa kecewa menghampiriku. Kisah ku dengannya yang bukan rahasisa publik nyatanya tak sesuai dengan faktanya. Ketika aku merasa di khianati oleh orang yang tak lain temanku. Ketika aku tau bahwa ada kedekatan khusus diantara mereka. Seketika aku merasa hancur walaupun aku tau, kenyataannya aku tidak pernah benar-benar memilikinya. Aku tak pernah mengetahui tentang kedekatan mereka, namun perlahan sikap mereka yang membuat aku menerka-nerka. Pernah aku coba bertanya tentang kebenarannya, namun perjanjian yang telah terikat membuat mereka enggan membuka kebenarannya. Dan disini aku berhenti berjuang.
Dua tahun berlalu perjuangan yang telah aku akhiri.  Aku mencoba membuka hatiku untuk sosok lain, perlahan aku mengikuti alur waktu yang membawaku dalam dunia baru tanpa sosoknya. Orang lain yang mampu membawa aku dalam hidupnya dengan terbuka. Orang yang membawa aku terlarut dalam dunianya, dunia yang tak pernah aku temukan. Membuat aku lupa akan hidupku, lupa akan batinku. Keindahan dan kebahagian yang berbeda yang aku dapati, sekalipun hal itu salah untuk dilakukan. Sekedar berbagi tawa, saling menggenggam tangan, berbicara berdua di sudut kursih, ketika tidak ada jarak atas ragaku dan ragamu. Normal bagi orang lain, namun aku menemukan arti berbeda dari cara menjaga, menghormati dan menyayangi seseorang. Ketika raga ku berada dengan orang yang saat ini mengisi hidupku, namun hati ku nyatanya masih tetap tertuju pada dia, ia yang mampu membuat aku jatuh dalam diamnya.
Tahun ketiga dimana dulu aku memulai semua penantian ini. Hal yang tak pernah aku duga terjadi, ia kembali menyapa hidupku. Entah apa yang membuat dia berubah dari diamnya. Mungkin lingkungan yang ia tempati saat ini yang membuat ia berbalik arah. Tak di pungkiri aku bahagia mendengar namanya kembali, aku bahagia bisa bertegur sapa bersamanya. Namun, aku menyadari dengan posisiku saat ini semuanya tidak mungkin bisa berjalan. Kebimbangan pun hadir, hatiku tergoyahkan kembali dengan sosoknya. Aku tak bisa mengelak bahwa aku masih bertahan untuknya, bahwa rasa ku tak pernah mati untuknya, dan bahwa aku masih berharap dalam doaku untuk bisa bersamanya. Aku percaya Allah selalu mendengar setiap doa yang kita panjatkan, Allah tak pernah tidur, dan tak ada perjuangan yang sia-sia. Hanya masalah waktu dan keadaan yang menjawab semuanya. Begitu pun hari ini, aku percaya ini jawaban dari doa ku di tahun pertama aku berjuang. Doa yang aku sampaikan pada Rabb ku, dan aku siarkan kepadanya serta ia amin kan. Pesan yang pernah aku siarkan kepadanya; “Mungkin kamu tak pernah tau, tapi Allah selalu tau, dalam setiap doa ku, inginku bukan sebatas harap..’ Allah persatukan aku dengan dia, aku ingin dia yang menjadi imam ku dalam jalanmu, dia yang pertama dan terakhir yang melingkarkan cincin di jari manis tangan kananku, dia yang akan menjemputku dari kedua orang tua ku, dan mengucap ijab kabul atas nama-Mu dan untuk beribadah kepada-Mu. Dia yang menggenggam tangan ku saat aku terpuruk, dia yang senantiasa menguatkan ku, memberikan senyum dan kasih sayangnya, yang selalu mengingatkan ku dari semua khilafku, dan senantiasa menuntunku dalam jalan lurus-Mu..’ Aminn...”. Sebait doa yang pernah aku lantunkan kepada Rabb ku, mungkin ini jawaban atas doa ku, ia kembali dengan jiwanya menyapa hidupku. Walau aku tak pernah tau apa tujuannya dia kembali disini.
Ketika aku dihadapkan dengan mimpiku, mimpi yang selama ini aku nantikan tanpa fikir panjang seketika aku meninggalkan dunia baruku. Aku memutuskan ikatanku dengan kekasihku. Dan aku kembali dengan mimpiku, kembali dengan harapan-harapan yang telah aku tutup, kisah lama yang aku buka kembali. Tiada keraguan ketika aku memutuskan untuk kembali. Meski aku tau aku masih belum menemukan jawabannya. Meski aku tak pernah tau arah dari kisah ini. Aku hanya mencoba yakin dengan apa yang aku yakini. Kali ini aku bisa menyentuh hidupnya. Ia yang mulai membuka hati dan hidupnya, ia yang tak lagi diam tanpa kata, ia yang tak lagi acuh terhadap sekelilingnya, ia yang tak lagi hanya diam menyimpan jawabnya. Perlahan waktu membawa kita bertemu kembali disatu ruang, aku yang masih tak percaya dengan kenyataan, dengan raganya, dengan jiwanya, yang nyatanya ia yang dulu aku kenal tak sama dengan ia yang kini datang. Sikapnya yang perlahan mencoba menyetuh hidupnya, mencoba mengenal aku dengan keterbukaannya, mencoba meyakinkan aku bahwa yang ada dihadapanku kini itu nyata. Bahwa raga dan jiwanya kini benar-benar ada dalam hidupku. Bahwa aku pernah ada dalam hatinya. Meski tak pernah terucap nyata di bibirnya.
Tiga bulan berlalu setelah ia kembali disni. Aku masih  di tempat yang sama, dimana aku bertanya-tanya tentang kisah kita. Dimana aku masih belum menemukan jawabannya. Dimana aku masih tak memahami arah tujuan ini. Dimana aku kembali lelah berjuang dalam penantian tak pasti. Suatu hari aku menanyakan kebenarannya, jawaban atas semua perjalanan yang kita lalui, jawaban atas rasaku. Dan kenyataannya masih sama. Ia masih berdiri dengan prinsipnya. Hari demi hari kita lewati tanpa sebuah status pasti. Perlahan keraguan mulai menghantui ku, dengan jarak ratusan kilo meter yang membatasi kita. Dengan waktu yang membatasi pertemuan diantara kita. Aku mulai kalah dengan jiwaku. Ketika aku inginkan satu kepastian yang nyata atas kisah kita.
Di bulan September, seperti tiga tahun sebelumnya aku selalu ingin memberikan yang terbaik untukmu di hari pergantian usiamu. Tak banyak yang bisa aku berikan, mungkin ini tahun pertama ketika ia mau menerima apa yang aku berikan, dan melihatnya bahagia dengan itu. Selang waktu dua bulan, aku pun melewati pergantian usiaku. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini terasa berbeda. Dengan adanya dia disini yang menjawab semua perjuanganku, dan ada hal lain yang ia berikan. Aku bahagia menerimanya, walau sedikit heran atas sikapnya dan alasannya memberikan itu.  
Setahun terakhir dekat dengannya memiliki arti tersendiri untukku, ia yang mulai memahamiku, mengenalku, menerima aku. Ia yang dengan tegas mengingatkan aku dalam khilafku, ia yang memberikan energi baru untuk ku dalam menjalani hidup, ia yang membawaku melukis mimpi indah bersama dilangit tinggi, ia yang menuntunku kembali ke jalan lurus-Nya, ia yang mengingatkan ku dalam agamaku, ia yang mengajariku dengan imamnya, dan ia yang menguatkan ku dengan imanku. Perlahan ia mengenal keluargaku, ia mendekatkan diri dengan orang tuaku, sekalipun aku tak pernah berani menyebut namanya di depan orang tua ku. Ia dengan caranya mengimbangi hidupku, ia dengan caranya menjagaku, ia dengan caranya menyadarkanku bahwa status sementara hanya akan membuat kita berjarak. Ia yang meyakinkan ku bahwa mimpi itu dapat kita raih suatu hari nanti.
Namun semakin lama semakin aku merasa bosan dengan ini, entah apa yang membuat aku muak dan lelah. Aku berontak dengan hatiku, hal yang tak pernah aku duga, ia mau menurunkan egonya, ia mau melepaskan prinsipnya ketika aku mencoba untuk mengikuti jalannya. Satu hal yang dia ucapkan tentang alasannya merubah prinsipnya ialah, “mungkin ini satu-satunya cara untuk menjagamu”. Ia berucap rasa takut akan kehilanganku, ia berucap rasa sayangnya kepadaku. Selalu ada hal menakjubkan yang ia berikan dengan caranya, cara mencinta yang berbeda. Mungkin itu yang membuat aku bertahan sejauh ini, yang membuat aku selalu yakin dengan hatiku.
“Dalam sujud aku bersyukur atas segala rahmat dan rasa yang engkau beri, Ridhoilah setiap langkah ku hari ini, esok dan seterusnya. Dalam setiap langkah, perbuatan, atas nama-Mu dan tak lebih mengharap ridho-Mu. Ya Rabb setiap apa yang engkau beri, ku yakini itu yang terbaik, dan engkau telah mempertemukan aku dengan dia dengan semua jalan yang tlah engkau gariskan. Itu pula yang menjadi alasanku, aku mencintainya karena –Mu ya Allah, engkau yang telah menghadirkan rasa itu, dan memberikan satu dari berjuta kasih sayang-Mu, lewat dia dan kita bersatu atas izinmu untuk menuju jalan yang engkau ridhoi..”
Aku merasa dekat dengan Allah ketika aku dekat denganmu, ketika kamu menjadi imam dalam shalatku, ketika itu aku meminta dalam sujudku “Ya Rabb biarkan ia satu-satunya yang  menjadi imamku”.
Di bulan juli semua keindahan itu menjadi nyata, ia mulai mencoba mengikuti ambisiku. Semua berawal di bulan suci berharap semua keputusan dan jalan yang kita ambil menemukan yang terbaik dari yang baik. Namun ternyata dengan adanya status tak membuat semuanya menjadi lebih baik. Perjalanan kita tak bertahan lama, mungkin salah mengambil keputusan hanya karena ambisi. Dan tak bisa di hindari setiap perpisahan selalu meninggalkan jejak, menghadirkan jarak dan batas, yang menunjukan bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Dan sejak saat itu semuanya berubah, tak ada sapa, tak ada kata seolah semuanya asing kembali.
Dua bulan kemudian aku mendengar kabar tentangnya, ia yang sedang sakit di tempatnya. Sekalipun aku mencoba menutup telinga dan hatiku, aku tak bisa melawannya bahwa aku masih peduli dengannya. Mencoba mencari berita tentangnya nyatanya hal buruk yang aku terima. Seolah tak percaya dengan penyakit yang cukup serius yang dia alami. Sedikit penyesalan selalu terlintas difikiranku. Ingin berucap maaf dan memastikan keadaannya, namun jarak menghalangi. Dua minggu kemudian ia di pindahkan ke rumah sakit di kota ku, dimana orang tua nya tinggal disini. Aku berniat untuk melihatnya, dan tak pernah terbayangkan seperti apa keadaannya. Hari kelima ia dirawat disini aku baru bisa memberanikan diri untuk menyapanya. Dan sesampainya aku disana tak terasa air mataku mengalir deras, melihat ia terkaku diam di tempat tidur. Sesal dan sesal yang aku telan dalam diam ku menatapnya, namun tak ada yang bisa ku lakukan lagi, selain berharap kesembuhannya. Rasa tak ingin beranjak dari tempat itu, namun senja telah menjemputku untuk kembali pulang. Sesampainya di rumah aku mendapat kabar yang membuat jantungku terhenti seketika. Aku menerima kenyataan bahwa ia tak ada lagi di dunia ini, bahwa Allah telah menjemputnya untuk pulang, dan ia benar-benar pergi dari hidup aku. Tepat sebulan sebelum hari ulang tahun ku, pedih rasanya menghadapi kenyataan bahwa semua perbedaan dan hal yang ia berikan selama ini tak lain dari salam perpisahan. Kenangan yang ia ukir sebelum ia benar-benar pergi.
Terpuruk dalam tangis aku mengantarkan kepergiannya, namun satu hal yang aku dapati bahwa kita tidak pernah benar-benar memiliki, bahwa ia hanyalah titipan dari Rabb-Nya. Semenjak kepergiannya, aku mulai takut dengan kematian, aku mulai menyadari bahwa cinta Allah teramat besar terhadap hambanya. Dan sekali lagi untuk terakhir kalinya, kepergiannya membuat aku kembali pada Rabb ku, kembali di jalan lurus-Nya. Hanya al-quran yang mampu menyampaikan rinduku kepadanya, dalam sujudku aku berdoa untuk kebahagiaanmu di alam sana. Dan aku ingin menjalankan pesanmu untuk aku berhijrah dengan jilbab ku. Memahami bahwa semua pesan yang ia berikan tak lain untuk kebaikanku dan iman ku. Aku menguatkan hatiku untuk beristiqomah dengan hijrahku. Menguatkan iman ku dengan ayat  Al-Quran. Terimakasih telah membuat aku jatuh cinta untuk kedua kalinya pada Allah dengan tangan kananmu. Mengajariku istiqomah dengan cintaku terhadapmu dan mempertemukanku dengan hatiku, begitupun istiqomah dengan cintaku terhadap Rabb ku.


Kedamaian di Balik Sujud


Aku berjalan dalam pekatnya malam tanpa rembulan, Aku melangkah dalam kerasnya deruan angin yang menusuk di dada, Aku tersesat dalam ruang tanpa batas aturan. Kehidupan yang Aku jalani selama ini seolah hanya mencari kesenangan atas fisikku. Aku tak pernah terfikirkan atas batinku. Bagiku, dunia ini masihlah terasa luas dan panjang untuk Aku mencari hal yang ingin Aku temui. Bekerja keras untuk materi bukan lagi hal yang tabu di zaman yang modern ini. Mengikuti perkembangan zaman tak luput dari hal-hal duniawi yang semakin menggila. Walau tanpa disadari ada yang terlupakan daripadanya.
Aku terlarut dalam dunia tanpa batas yang mengikatku sepanjang usiaku. Aku melakukan apa yang ingin Aku lakukan, Aku membenarkan apa yang menurutku benar, dan Aku mengerjakan apa yang membuat Aku bahagia. Aku menjadi bisu akan apa yang terjadi disekelilingku, Aku menjadi tuli atas apa yang terngiang disampingku, dan Aku merasa buta atas apa yang terjadi dengan dunia lain di balik mataku.
            Aku berdiri dengan duniaku, dengan angan dan harapanku. Dunia yang membawa Aku dalam kenyamanan jauh dari fikiran-fikiran yang membelenggu. Dunia yang membawa Aku dalam kenikmatan menjalani hidup jauh dari rasa bersalah yang mengejar. Dunia yang membawa Aku dalam keberanian menghadapi hidup jauh dari rasa takut yang menghantui. Dan dunia yang menjauhkan Aku dengan jiwaku.
            Menjadi besar di tengah keluarga yang brokenhome membuat Aku terbiasa hidup dengan kebebasan. Hidup dalam kesendirian, tanpa keperdulian ataupun kasih sayang dari orangtua. Terbiasa dengan kesendirian menjadikan Aku sosok yang acuh akan orang yang ada disekeliling ku. Aku tak pernah peduli dengan apapun yang ada di lingkungan ku, Aku tak pernah menghargai orang yang ada disekitarku, hanya kesenangan pribadi yang Aku cari dengan apapun yang Aku temui. Terkadang, Aku pun tak memahami apa yang telah Aku lakukan dengan duniaku. Aku menghabiskan waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku lihat. Aku membuang waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku dapatkan. Dan Aku menyianyiakan waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku miliki.
            Suatu hari Aku pergi dengan teman-teman ku entah tanpa tujuan, sekedar menghabiskan waktu menghilangkan penat yang melekat. Melepas kesepian yang setiap hari Aku rasakan. Aku lupa menyadari akan adanya orang lain yang harus dihargai. Aku menyita waktunya untuk sekedar menemaniku, Aku meminta kesabarannya untuk sekedar memahami keluh kesahku, dan satu hal yang tak bisa Aku pinta ialah ketakwaannya. Aku bertemu dengan seorang penuntun syurga. Perlahan Aku terpikat dengan lantunan kata demi kata yang ia ucapkan. Aku hanya mampu melihatnya dari jarak puluhan meter yang membatasi pandanganku. Ia beranjak pergi melangkahkan kaki dan perlahan menghilang dari pandangku. Seperti biasa Aku tak pernah menghiraukan dengan apa yang terjadi di sekitarku.
            Di tengah kesibukan kedua orangtua ku, ketika terbangun dari tidurku tiada seorangpun yang ada di dalam rumah. Aku pergi bersekolah seperti biasanya, Aku mencoba kuat dengan jiwaku, mencoba menjalani hari normal seperti orang lain. Tak ada yang berbeda sekiranya Aku sampai dirumah. Rumah layaknya ruang kosong yang tak berpenghuni, tiada kehidupan, tiada keramaian, dan tiada kehangatan. Meski Aku sadari setiap kesibukannya tak lain untuk masa depanku. Berkelut dengan kesendirianku, terkadang Aku mengabaikan perintah maupun kata dari mereka. Kekesalan ku yang tercampur dengan amarahku, terkadang membuat ku keras dengan egoku. Merasa tidak dipedulikan dan diperhatikan, terkadang membuat Aku lelah dengan hidupku. Mengeluh dan mengeluh, seringkali hanya itu yang dapat Aku lakukan. 
Sampai suatu hari Aku seperti menemukan jiwaku. Entah apa yang menuntunku melangkahkan kaki sampai di tempat itu. Tempat yang penuh dengan cahaya putih, tempat yang damai dan lagi tentram. Perlahan Aku mengangkat lengan baju ku, mencuci kedua tanganku di air yang mengalir lalu berwudhu dalam damaiku. Seketika kedamaian Aku rasakan saat ku basuh wajah dengan kedua tanganku. Seketika Aku merasa tenang saat Aku menundukan kepalaku di atas sajadah. Seketika Aku merasa sejuk dalam balutan alat shalat yang menutupi tubuhku. Dalam sujud Aku menangis, dalam doa Aku bercerita, dalam tasbih Aku bernafas, dan dalam diam Aku hidup. Aku yang dulu terasa mati kini hidup kembali dengan syukurku. Aku dapat kembali ke rumah-Nya, Aku dapat kembali mencium kebesaran-Nya, Aku dapat kembali kasih sayang-Nya, dan Aku dapat kembali berlutut dihadap-Nya.
Aku seperti terlahir kembali ketika Aku bersinggah di rumah-Nya, ketika Aku berbisik kepada-Nya, dan ketika Aku berada dalam peluk-Nya. Entah apa yang aku rasakan ketika ada yang menarikku untuk menyapa-Nya, Ada yang menahanku untuk beranjak dari sujudku, Ada yang merangkulku dalam lantunan ayat-Nya, dan Ada yang tersenyum melihat ku dalam balutan hijabku. Seketika Aku tertegun dengan jiwaku, Aku bertanya pada hatiku tentang apa yang Aku rasakan. Seketika Aku merasa seperti terbangun dari jiwa yang mati, jiwa yang tak pernah merasakan apa itu bersyukur. Bersyukur terhadap hal kecil yang diberikan-Nya dalam diriku.
Dirumah-Nya pula Aku kembali bertemu dengan nya, ia yang pernah membuat hatiku bergetar dengan tilawahnya. Ia menuntunku kembali kejalan syurga-Nya, ia membawaku untuk kembali mencinta-Nya, ia menguatkan ku kembali dengan Imanku.
Aku menemukan jiwaku dalam sujudku. Perlahan Aku menyesali semua kesalahanku, semua kekhilafan dalam hidupku, semua keburukan yang pernah Aku lakukan. Perlahan Aku takut dengan hidupku, takut dengan setiap langkah kaki ku, setiap kata yang terucap, setiap hal yang didengar, setiap apa yang diambil, dan takut dengan kematian. Aku menyadari bahwa hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan, bahwa waktu yang Aku miliki di dunia ini terbatas, bahwa Aku telah membuang waktu ku hanya untuk dunia, dan nyatanya ada sisi lain yang harus Aku jalani. Aku melupakam kebutuhan batin ku, ketenangan jiwaku, dan keteguhan hatiku.
Seketika Aku merenung dengan diriku, Aku tak bisa pergi dari kenyamanan ini. Kenyamanan yang baru Aku sadari bahwa Aku membutuhkannya. Aku memutuskan untuk berhijrah, mencoba memperbaiki diri di jalan-Nya. Dalam sujud Aku memohon ridho-Nya, memohon taubat-Nya. Aku ingin  selalu dekat dengan-Nya, ingin selalu di cinta-Nya. Aku sadari setiap perjalanan hidup ini, setiap ujian ialah bentuk kasih sayang-Nya.
Perlahan Aku membuang semua masa kelam ku, Aku menutup semua kisah lama ku, dan Aku meninggalkan kehidupan yang selama ini melarutkanku. Berucap maaf atas khilaf ku pada ibuku. Ibu yang rela banting tulang untuk memenuhi kebutuhanku. Ibu yang menyayangiku dengan caranya. Sekalipun waktunya terbuang habis dan tak tersisa untukku. Sekalipun ia tak selalu ada di setiap Aku membutuhkan pelukannya. Tapi, ia tetap menjadi syurgaku.
Aku memulai hidup baruku dengan jiwaku yang telah jatuh hati kepada-Nya. Sang penguasa kehidupan yang memberi nafas pada jiwaku. Aku memulai mengubah penampilanku, dengan balutan hijab Aku merasa nyaman dengan apa yang Aku kenakan. Walau terkadang rasa panas mengganggu proses hijrahku. Aku mencoba membiasakan diri dengan hijab ku, dengan kesabaran pelahan Aku merasakan nikmat yang sesungguhnya. Ketika orang lain menghargaiku dengan hijabku, ketika tidak ada yang berani menggangguku, Aku merasakan kenyamanan dan keamanan dengan hijabku. Dan Aku mulai mengenal islam yang sesungguhnya. Aku menemukan imanku, hatiku juga jiwaku.
Ketika Aku memutuskan untuk berhijrah dengan hatiku, tak banyak orang yang memandangku sebelah mata. Dengan kata, caci maupun tindakan mereka yang tak menerimaku dengan hijabku. Namun, Aku mencoba untuk bertahan dengan hatiku. Aku sadari proses berhijrah tidaklah semudah itu, untuk istiqamah tidaklah sesingkat itu. Aku hanya mencoba tersenyum ketika  banyak kata yang dilontarkan kepadaku, baik hinaan maupun pujian. Aku mencoba menyerahkan semuanya kepada-Nya. Dan Aku percaya, untuk keindahan yang nyata itu ada pengorbanan, untuk kebaikan butuh kesalahan, dan untuk istiqamah butuh keteguhan hati.
Aku teringat hari dimana hatiku tergetar. Teringat sosok penuntun syurga yang menyadarkan ku dalam khilafku. Lama tak terlihat parasnya di hadapku, ia yang selalu menundukan pandangannya. Ingin ku bertemu dengannya sekedar berucap terimakasih karena telah kembali membawaku ke jalan-Nya. Telah membuat Aku jatuh cinta dengan ayat-Nya, membuat Aku tertegun dengan kuasa-Nya.
Aku meneruskan hidupku dengan jalan yang telah Aku pijak saat ini. Aku mencoba istiqamah dengan hatiku. Aku selalu merasa damai ketika Aku berada di  rumah-Nya, ketika Aku bertemu dengan-Nya. Aku tak ingin beranjak dari sujudku, disanalah Aku temukan kebesaran-Nya, disana Aku berbisik kepada-Nya. Dalam sujud Aku memohon dan mengeluh kepada-Nya, Aku menyerahkan seluruh hidup dan matiku kepada-Nya. Dalam sujud Aku memohon ampunan-Nya, Aku memohon hidayah-Nya dan Aku memohon kekuatan untuk Aku berdiri dijalan-Nya.
Aku menundukan pandanganku kepada dunia, Aku menahan hasratku kepada isi dunia dan Aku menutup telingaku kepada cerita dunia. Aku membuka hatiku kepada cinta-Nya, Aku mengangkat dan menadahkan tanganku kepada karunia-Nya, Aku menegakan pandanganku kepada kebesaran-Nya, Aku membuka mulutku kepada ayat-ayat-Nya, Aku membuka telingaku kepada perintah-Nya dan Aku menundukan kepalaku kepada kasih sayang-Nya.
Tiga tahun berlalu, Aku dengan hijrahku. Aku kembali ketempat dimana Aku pertama kali menemukan hatiku. Aku kembali bertemu dengan dia, ia penuntun syurgaku. Tak banyak kata yang ia ucap, tak banyak sikap yang ia lakukan. Hanya lantunan tilawahnya yang kembali membuat hatiku bergetar. Sosok yang membuat Aku bangkit dari keterpurukan ku, sekalipun Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Ia menyapaku dengan salam, menegurku dengan senyuman. Ia menghampiriku bersama dengan seorang ustadz yang selama ini menuntun ku untuk berhijrah. Seketika itu Aku mengenalnya dengan sebuah Nama.
Seminggu berlalu, ia datang ke rumahku dengan ustadz yang mengantarnya. Entah apa yang membawanya sampai ke tempatku. Ia menemui Ibu ku dan berbicara dengannya. Aku yang hanya bisa melihatnya dari ruang yang berbeda, tak henti bertanya-tanya dengan tujuannya singgah disini. Seketika ibu memanggilku untuk menemuinya. Aku menundukan pandanganku terhadapnya. Tidaklah Aku duga ia datang untuk mengajak berta’aruf. Aku tersenyum dalam hatiku, dengan bissmillah Aku menerima ta’aruf nya. Sungguh Allah telah mempertemukan Aku dengan penuntun Syurgaku. Sekalipun ia tau masa kelam ku, ia menerima ku dengan lapang dada. Aku bersyukur sejak pertama Allah mempertemukan Aku dengan dia. Dia yang membuat Aku jatuh cinta kepada Allah. Dia yang membuat Aku merasa menjadi Kekasih Allah. Dia yang menuntuku menjadi lebih baik. Dia yang menuntuku dalam rangkulan-Nya.

~The End~