Class

Senin, 13 Februari 2017

Kedamaian di Balik Sujud


Aku berjalan dalam pekatnya malam tanpa rembulan, Aku melangkah dalam kerasnya deruan angin yang menusuk di dada, Aku tersesat dalam ruang tanpa batas aturan. Kehidupan yang Aku jalani selama ini seolah hanya mencari kesenangan atas fisikku. Aku tak pernah terfikirkan atas batinku. Bagiku, dunia ini masihlah terasa luas dan panjang untuk Aku mencari hal yang ingin Aku temui. Bekerja keras untuk materi bukan lagi hal yang tabu di zaman yang modern ini. Mengikuti perkembangan zaman tak luput dari hal-hal duniawi yang semakin menggila. Walau tanpa disadari ada yang terlupakan daripadanya.
Aku terlarut dalam dunia tanpa batas yang mengikatku sepanjang usiaku. Aku melakukan apa yang ingin Aku lakukan, Aku membenarkan apa yang menurutku benar, dan Aku mengerjakan apa yang membuat Aku bahagia. Aku menjadi bisu akan apa yang terjadi disekelilingku, Aku menjadi tuli atas apa yang terngiang disampingku, dan Aku merasa buta atas apa yang terjadi dengan dunia lain di balik mataku.
            Aku berdiri dengan duniaku, dengan angan dan harapanku. Dunia yang membawa Aku dalam kenyamanan jauh dari fikiran-fikiran yang membelenggu. Dunia yang membawa Aku dalam kenikmatan menjalani hidup jauh dari rasa bersalah yang mengejar. Dunia yang membawa Aku dalam keberanian menghadapi hidup jauh dari rasa takut yang menghantui. Dan dunia yang menjauhkan Aku dengan jiwaku.
            Menjadi besar di tengah keluarga yang brokenhome membuat Aku terbiasa hidup dengan kebebasan. Hidup dalam kesendirian, tanpa keperdulian ataupun kasih sayang dari orangtua. Terbiasa dengan kesendirian menjadikan Aku sosok yang acuh akan orang yang ada disekeliling ku. Aku tak pernah peduli dengan apapun yang ada di lingkungan ku, Aku tak pernah menghargai orang yang ada disekitarku, hanya kesenangan pribadi yang Aku cari dengan apapun yang Aku temui. Terkadang, Aku pun tak memahami apa yang telah Aku lakukan dengan duniaku. Aku menghabiskan waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku lihat. Aku membuang waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku dapatkan. Dan Aku menyianyiakan waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku miliki.
            Suatu hari Aku pergi dengan teman-teman ku entah tanpa tujuan, sekedar menghabiskan waktu menghilangkan penat yang melekat. Melepas kesepian yang setiap hari Aku rasakan. Aku lupa menyadari akan adanya orang lain yang harus dihargai. Aku menyita waktunya untuk sekedar menemaniku, Aku meminta kesabarannya untuk sekedar memahami keluh kesahku, dan satu hal yang tak bisa Aku pinta ialah ketakwaannya. Aku bertemu dengan seorang penuntun syurga. Perlahan Aku terpikat dengan lantunan kata demi kata yang ia ucapkan. Aku hanya mampu melihatnya dari jarak puluhan meter yang membatasi pandanganku. Ia beranjak pergi melangkahkan kaki dan perlahan menghilang dari pandangku. Seperti biasa Aku tak pernah menghiraukan dengan apa yang terjadi di sekitarku.
            Di tengah kesibukan kedua orangtua ku, ketika terbangun dari tidurku tiada seorangpun yang ada di dalam rumah. Aku pergi bersekolah seperti biasanya, Aku mencoba kuat dengan jiwaku, mencoba menjalani hari normal seperti orang lain. Tak ada yang berbeda sekiranya Aku sampai dirumah. Rumah layaknya ruang kosong yang tak berpenghuni, tiada kehidupan, tiada keramaian, dan tiada kehangatan. Meski Aku sadari setiap kesibukannya tak lain untuk masa depanku. Berkelut dengan kesendirianku, terkadang Aku mengabaikan perintah maupun kata dari mereka. Kekesalan ku yang tercampur dengan amarahku, terkadang membuat ku keras dengan egoku. Merasa tidak dipedulikan dan diperhatikan, terkadang membuat Aku lelah dengan hidupku. Mengeluh dan mengeluh, seringkali hanya itu yang dapat Aku lakukan. 
Sampai suatu hari Aku seperti menemukan jiwaku. Entah apa yang menuntunku melangkahkan kaki sampai di tempat itu. Tempat yang penuh dengan cahaya putih, tempat yang damai dan lagi tentram. Perlahan Aku mengangkat lengan baju ku, mencuci kedua tanganku di air yang mengalir lalu berwudhu dalam damaiku. Seketika kedamaian Aku rasakan saat ku basuh wajah dengan kedua tanganku. Seketika Aku merasa tenang saat Aku menundukan kepalaku di atas sajadah. Seketika Aku merasa sejuk dalam balutan alat shalat yang menutupi tubuhku. Dalam sujud Aku menangis, dalam doa Aku bercerita, dalam tasbih Aku bernafas, dan dalam diam Aku hidup. Aku yang dulu terasa mati kini hidup kembali dengan syukurku. Aku dapat kembali ke rumah-Nya, Aku dapat kembali mencium kebesaran-Nya, Aku dapat kembali kasih sayang-Nya, dan Aku dapat kembali berlutut dihadap-Nya.
Aku seperti terlahir kembali ketika Aku bersinggah di rumah-Nya, ketika Aku berbisik kepada-Nya, dan ketika Aku berada dalam peluk-Nya. Entah apa yang aku rasakan ketika ada yang menarikku untuk menyapa-Nya, Ada yang menahanku untuk beranjak dari sujudku, Ada yang merangkulku dalam lantunan ayat-Nya, dan Ada yang tersenyum melihat ku dalam balutan hijabku. Seketika Aku tertegun dengan jiwaku, Aku bertanya pada hatiku tentang apa yang Aku rasakan. Seketika Aku merasa seperti terbangun dari jiwa yang mati, jiwa yang tak pernah merasakan apa itu bersyukur. Bersyukur terhadap hal kecil yang diberikan-Nya dalam diriku.
Dirumah-Nya pula Aku kembali bertemu dengan nya, ia yang pernah membuat hatiku bergetar dengan tilawahnya. Ia menuntunku kembali kejalan syurga-Nya, ia membawaku untuk kembali mencinta-Nya, ia menguatkan ku kembali dengan Imanku.
Aku menemukan jiwaku dalam sujudku. Perlahan Aku menyesali semua kesalahanku, semua kekhilafan dalam hidupku, semua keburukan yang pernah Aku lakukan. Perlahan Aku takut dengan hidupku, takut dengan setiap langkah kaki ku, setiap kata yang terucap, setiap hal yang didengar, setiap apa yang diambil, dan takut dengan kematian. Aku menyadari bahwa hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan, bahwa waktu yang Aku miliki di dunia ini terbatas, bahwa Aku telah membuang waktu ku hanya untuk dunia, dan nyatanya ada sisi lain yang harus Aku jalani. Aku melupakam kebutuhan batin ku, ketenangan jiwaku, dan keteguhan hatiku.
Seketika Aku merenung dengan diriku, Aku tak bisa pergi dari kenyamanan ini. Kenyamanan yang baru Aku sadari bahwa Aku membutuhkannya. Aku memutuskan untuk berhijrah, mencoba memperbaiki diri di jalan-Nya. Dalam sujud Aku memohon ridho-Nya, memohon taubat-Nya. Aku ingin  selalu dekat dengan-Nya, ingin selalu di cinta-Nya. Aku sadari setiap perjalanan hidup ini, setiap ujian ialah bentuk kasih sayang-Nya.
Perlahan Aku membuang semua masa kelam ku, Aku menutup semua kisah lama ku, dan Aku meninggalkan kehidupan yang selama ini melarutkanku. Berucap maaf atas khilaf ku pada ibuku. Ibu yang rela banting tulang untuk memenuhi kebutuhanku. Ibu yang menyayangiku dengan caranya. Sekalipun waktunya terbuang habis dan tak tersisa untukku. Sekalipun ia tak selalu ada di setiap Aku membutuhkan pelukannya. Tapi, ia tetap menjadi syurgaku.
Aku memulai hidup baruku dengan jiwaku yang telah jatuh hati kepada-Nya. Sang penguasa kehidupan yang memberi nafas pada jiwaku. Aku memulai mengubah penampilanku, dengan balutan hijab Aku merasa nyaman dengan apa yang Aku kenakan. Walau terkadang rasa panas mengganggu proses hijrahku. Aku mencoba membiasakan diri dengan hijab ku, dengan kesabaran pelahan Aku merasakan nikmat yang sesungguhnya. Ketika orang lain menghargaiku dengan hijabku, ketika tidak ada yang berani menggangguku, Aku merasakan kenyamanan dan keamanan dengan hijabku. Dan Aku mulai mengenal islam yang sesungguhnya. Aku menemukan imanku, hatiku juga jiwaku.
Ketika Aku memutuskan untuk berhijrah dengan hatiku, tak banyak orang yang memandangku sebelah mata. Dengan kata, caci maupun tindakan mereka yang tak menerimaku dengan hijabku. Namun, Aku mencoba untuk bertahan dengan hatiku. Aku sadari proses berhijrah tidaklah semudah itu, untuk istiqamah tidaklah sesingkat itu. Aku hanya mencoba tersenyum ketika  banyak kata yang dilontarkan kepadaku, baik hinaan maupun pujian. Aku mencoba menyerahkan semuanya kepada-Nya. Dan Aku percaya, untuk keindahan yang nyata itu ada pengorbanan, untuk kebaikan butuh kesalahan, dan untuk istiqamah butuh keteguhan hati.
Aku teringat hari dimana hatiku tergetar. Teringat sosok penuntun syurga yang menyadarkan ku dalam khilafku. Lama tak terlihat parasnya di hadapku, ia yang selalu menundukan pandangannya. Ingin ku bertemu dengannya sekedar berucap terimakasih karena telah kembali membawaku ke jalan-Nya. Telah membuat Aku jatuh cinta dengan ayat-Nya, membuat Aku tertegun dengan kuasa-Nya.
Aku meneruskan hidupku dengan jalan yang telah Aku pijak saat ini. Aku mencoba istiqamah dengan hatiku. Aku selalu merasa damai ketika Aku berada di  rumah-Nya, ketika Aku bertemu dengan-Nya. Aku tak ingin beranjak dari sujudku, disanalah Aku temukan kebesaran-Nya, disana Aku berbisik kepada-Nya. Dalam sujud Aku memohon dan mengeluh kepada-Nya, Aku menyerahkan seluruh hidup dan matiku kepada-Nya. Dalam sujud Aku memohon ampunan-Nya, Aku memohon hidayah-Nya dan Aku memohon kekuatan untuk Aku berdiri dijalan-Nya.
Aku menundukan pandanganku kepada dunia, Aku menahan hasratku kepada isi dunia dan Aku menutup telingaku kepada cerita dunia. Aku membuka hatiku kepada cinta-Nya, Aku mengangkat dan menadahkan tanganku kepada karunia-Nya, Aku menegakan pandanganku kepada kebesaran-Nya, Aku membuka mulutku kepada ayat-ayat-Nya, Aku membuka telingaku kepada perintah-Nya dan Aku menundukan kepalaku kepada kasih sayang-Nya.
Tiga tahun berlalu, Aku dengan hijrahku. Aku kembali ketempat dimana Aku pertama kali menemukan hatiku. Aku kembali bertemu dengan dia, ia penuntun syurgaku. Tak banyak kata yang ia ucap, tak banyak sikap yang ia lakukan. Hanya lantunan tilawahnya yang kembali membuat hatiku bergetar. Sosok yang membuat Aku bangkit dari keterpurukan ku, sekalipun Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Ia menyapaku dengan salam, menegurku dengan senyuman. Ia menghampiriku bersama dengan seorang ustadz yang selama ini menuntun ku untuk berhijrah. Seketika itu Aku mengenalnya dengan sebuah Nama.
Seminggu berlalu, ia datang ke rumahku dengan ustadz yang mengantarnya. Entah apa yang membawanya sampai ke tempatku. Ia menemui Ibu ku dan berbicara dengannya. Aku yang hanya bisa melihatnya dari ruang yang berbeda, tak henti bertanya-tanya dengan tujuannya singgah disini. Seketika ibu memanggilku untuk menemuinya. Aku menundukan pandanganku terhadapnya. Tidaklah Aku duga ia datang untuk mengajak berta’aruf. Aku tersenyum dalam hatiku, dengan bissmillah Aku menerima ta’aruf nya. Sungguh Allah telah mempertemukan Aku dengan penuntun Syurgaku. Sekalipun ia tau masa kelam ku, ia menerima ku dengan lapang dada. Aku bersyukur sejak pertama Allah mempertemukan Aku dengan dia. Dia yang membuat Aku jatuh cinta kepada Allah. Dia yang membuat Aku merasa menjadi Kekasih Allah. Dia yang menuntuku menjadi lebih baik. Dia yang menuntuku dalam rangkulan-Nya.

~The End~

Tidak ada komentar: