Aku
berjalan dalam pekatnya malam tanpa rembulan, Aku melangkah dalam kerasnya
deruan angin yang menusuk di dada, Aku tersesat dalam ruang tanpa batas aturan.
Kehidupan yang Aku jalani selama ini seolah hanya mencari kesenangan atas
fisikku. Aku tak pernah terfikirkan atas batinku. Bagiku, dunia ini masihlah terasa
luas dan panjang untuk Aku mencari hal yang ingin Aku temui. Bekerja keras
untuk materi bukan lagi hal yang tabu di zaman yang modern ini. Mengikuti
perkembangan zaman tak luput dari hal-hal duniawi yang semakin menggila. Walau
tanpa disadari ada yang terlupakan daripadanya.
Aku
terlarut dalam dunia tanpa batas yang mengikatku sepanjang usiaku. Aku melakukan
apa yang ingin Aku lakukan, Aku membenarkan apa yang menurutku benar, dan Aku
mengerjakan apa yang membuat Aku bahagia. Aku menjadi bisu akan apa yang
terjadi disekelilingku, Aku menjadi tuli atas apa yang terngiang disampingku,
dan Aku merasa buta atas apa yang terjadi dengan dunia lain di balik mataku.
Aku
berdiri dengan duniaku, dengan angan dan harapanku. Dunia yang membawa Aku
dalam kenyamanan jauh dari fikiran-fikiran yang membelenggu. Dunia yang membawa
Aku dalam kenikmatan menjalani hidup jauh dari rasa bersalah yang mengejar.
Dunia yang membawa Aku dalam keberanian menghadapi hidup jauh dari rasa takut
yang menghantui. Dan dunia yang menjauhkan Aku dengan jiwaku.
Menjadi besar di tengah keluarga
yang brokenhome membuat Aku terbiasa hidup dengan kebebasan. Hidup dalam
kesendirian, tanpa keperdulian ataupun kasih sayang dari orangtua. Terbiasa
dengan kesendirian menjadikan Aku sosok yang acuh akan orang yang ada
disekeliling ku. Aku tak pernah peduli dengan apapun yang ada di lingkungan ku,
Aku tak pernah menghargai orang yang ada disekitarku, hanya kesenangan pribadi
yang Aku cari dengan apapun yang Aku temui. Terkadang, Aku pun tak memahami apa
yang telah Aku lakukan dengan duniaku. Aku menghabiskan waktuku untuk apa yang
tidak pernah Aku lihat. Aku membuang waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku
dapatkan. Dan Aku menyianyiakan waktuku untuk apa yang tidak pernah Aku miliki.
Suatu hari Aku pergi dengan
teman-teman ku entah tanpa tujuan, sekedar menghabiskan waktu menghilangkan
penat yang melekat. Melepas kesepian yang setiap hari Aku rasakan. Aku lupa
menyadari akan adanya orang lain yang harus dihargai. Aku menyita waktunya
untuk sekedar menemaniku, Aku meminta kesabarannya untuk sekedar memahami keluh
kesahku, dan satu hal yang tak bisa Aku pinta ialah ketakwaannya. Aku bertemu
dengan seorang penuntun syurga. Perlahan Aku terpikat dengan lantunan kata demi
kata yang ia ucapkan. Aku hanya mampu melihatnya dari jarak puluhan meter yang
membatasi pandanganku. Ia beranjak pergi melangkahkan kaki dan perlahan
menghilang dari pandangku. Seperti biasa Aku tak pernah menghiraukan dengan apa
yang terjadi di sekitarku.
Di tengah kesibukan kedua orangtua
ku, ketika terbangun dari tidurku tiada seorangpun yang ada di dalam rumah. Aku
pergi bersekolah seperti biasanya, Aku mencoba kuat dengan jiwaku, mencoba
menjalani hari normal seperti orang lain. Tak ada yang berbeda sekiranya Aku
sampai dirumah. Rumah layaknya ruang kosong yang tak berpenghuni, tiada
kehidupan, tiada keramaian, dan tiada kehangatan. Meski Aku sadari setiap
kesibukannya tak lain untuk masa depanku. Berkelut dengan kesendirianku,
terkadang Aku mengabaikan perintah maupun kata dari mereka. Kekesalan ku yang
tercampur dengan amarahku, terkadang membuat ku keras dengan egoku. Merasa
tidak dipedulikan dan diperhatikan, terkadang membuat Aku lelah dengan hidupku.
Mengeluh dan mengeluh, seringkali hanya itu yang dapat Aku lakukan.
Sampai
suatu hari Aku seperti menemukan jiwaku. Entah apa yang menuntunku melangkahkan
kaki sampai di tempat itu. Tempat yang penuh dengan cahaya putih, tempat yang
damai dan lagi tentram. Perlahan Aku mengangkat lengan baju ku, mencuci kedua
tanganku di air yang mengalir lalu berwudhu dalam damaiku. Seketika kedamaian
Aku rasakan saat ku basuh wajah dengan kedua tanganku. Seketika Aku merasa
tenang saat Aku menundukan kepalaku di atas sajadah. Seketika Aku merasa sejuk
dalam balutan alat shalat yang menutupi tubuhku. Dalam sujud Aku menangis,
dalam doa Aku bercerita, dalam tasbih Aku bernafas, dan dalam diam Aku hidup.
Aku yang dulu terasa mati kini hidup kembali dengan syukurku. Aku dapat kembali
ke rumah-Nya, Aku dapat kembali mencium kebesaran-Nya, Aku dapat kembali kasih
sayang-Nya, dan Aku dapat kembali berlutut dihadap-Nya.
Aku
seperti terlahir kembali ketika Aku bersinggah di rumah-Nya, ketika Aku
berbisik kepada-Nya, dan ketika Aku berada dalam peluk-Nya. Entah apa yang aku
rasakan ketika ada yang menarikku untuk menyapa-Nya, Ada yang menahanku untuk
beranjak dari sujudku, Ada yang merangkulku dalam lantunan ayat-Nya, dan Ada
yang tersenyum melihat ku dalam balutan hijabku. Seketika Aku tertegun dengan
jiwaku, Aku bertanya pada hatiku tentang apa yang Aku rasakan. Seketika Aku
merasa seperti terbangun dari jiwa yang mati, jiwa yang tak pernah merasakan
apa itu bersyukur. Bersyukur terhadap hal kecil yang diberikan-Nya dalam
diriku.
Dirumah-Nya
pula Aku kembali bertemu dengan nya, ia yang pernah membuat hatiku bergetar
dengan tilawahnya. Ia menuntunku kembali kejalan syurga-Nya, ia membawaku untuk
kembali mencinta-Nya, ia menguatkan ku kembali dengan Imanku.
Aku
menemukan jiwaku dalam sujudku. Perlahan Aku menyesali semua kesalahanku, semua
kekhilafan dalam hidupku, semua keburukan yang pernah Aku lakukan. Perlahan Aku
takut dengan hidupku, takut dengan setiap langkah kaki ku, setiap kata yang
terucap, setiap hal yang didengar, setiap apa yang diambil, dan takut dengan
kematian. Aku menyadari bahwa hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan,
bahwa waktu yang Aku miliki di dunia ini terbatas, bahwa Aku telah membuang
waktu ku hanya untuk dunia, dan nyatanya ada sisi lain yang harus Aku jalani.
Aku melupakam kebutuhan batin ku, ketenangan jiwaku, dan keteguhan hatiku.
Seketika
Aku merenung dengan diriku, Aku tak bisa pergi dari kenyamanan ini. Kenyamanan
yang baru Aku sadari bahwa Aku membutuhkannya. Aku memutuskan untuk berhijrah,
mencoba memperbaiki diri di jalan-Nya. Dalam sujud Aku memohon ridho-Nya,
memohon taubat-Nya. Aku ingin selalu
dekat dengan-Nya, ingin selalu di cinta-Nya. Aku sadari setiap perjalanan hidup
ini, setiap ujian ialah bentuk kasih sayang-Nya.
Perlahan
Aku membuang semua masa kelam ku, Aku menutup semua kisah lama ku, dan Aku
meninggalkan kehidupan yang selama ini melarutkanku. Berucap maaf atas khilaf
ku pada ibuku. Ibu yang rela banting tulang untuk memenuhi kebutuhanku. Ibu
yang menyayangiku dengan caranya. Sekalipun waktunya terbuang habis dan tak
tersisa untukku. Sekalipun ia tak selalu ada di setiap Aku membutuhkan
pelukannya. Tapi, ia tetap menjadi syurgaku.
Aku
memulai hidup baruku dengan jiwaku yang telah jatuh hati kepada-Nya. Sang
penguasa kehidupan yang memberi nafas pada jiwaku. Aku memulai mengubah
penampilanku, dengan balutan hijab Aku merasa nyaman dengan apa yang Aku
kenakan. Walau terkadang rasa panas mengganggu proses hijrahku. Aku mencoba
membiasakan diri dengan hijab ku, dengan kesabaran pelahan Aku merasakan nikmat
yang sesungguhnya. Ketika orang lain menghargaiku dengan hijabku, ketika tidak
ada yang berani menggangguku, Aku merasakan kenyamanan dan keamanan dengan
hijabku. Dan Aku mulai mengenal islam yang sesungguhnya. Aku menemukan imanku,
hatiku juga jiwaku.
Ketika
Aku memutuskan untuk berhijrah dengan hatiku, tak banyak orang yang memandangku
sebelah mata. Dengan kata, caci maupun tindakan mereka yang tak menerimaku
dengan hijabku. Namun, Aku mencoba untuk bertahan dengan hatiku. Aku sadari
proses berhijrah tidaklah semudah itu, untuk istiqamah tidaklah sesingkat itu.
Aku hanya mencoba tersenyum ketika
banyak kata yang dilontarkan kepadaku, baik hinaan maupun pujian. Aku
mencoba menyerahkan semuanya kepada-Nya. Dan Aku percaya, untuk keindahan yang
nyata itu ada pengorbanan, untuk kebaikan butuh kesalahan, dan untuk istiqamah
butuh keteguhan hati.
Aku
teringat hari dimana hatiku tergetar. Teringat sosok penuntun syurga yang
menyadarkan ku dalam khilafku. Lama tak terlihat parasnya di hadapku, ia yang
selalu menundukan pandangannya. Ingin ku bertemu dengannya sekedar berucap
terimakasih karena telah kembali membawaku ke jalan-Nya. Telah membuat Aku
jatuh cinta dengan ayat-Nya, membuat Aku tertegun dengan kuasa-Nya.
Aku
meneruskan hidupku dengan jalan yang telah Aku pijak saat ini. Aku mencoba
istiqamah dengan hatiku. Aku selalu merasa damai ketika Aku berada di rumah-Nya, ketika Aku bertemu dengan-Nya. Aku
tak ingin beranjak dari sujudku, disanalah Aku temukan kebesaran-Nya, disana
Aku berbisik kepada-Nya. Dalam sujud Aku memohon dan mengeluh kepada-Nya, Aku
menyerahkan seluruh hidup dan matiku kepada-Nya. Dalam sujud Aku memohon
ampunan-Nya, Aku memohon hidayah-Nya dan Aku memohon kekuatan untuk Aku berdiri
dijalan-Nya.
Aku
menundukan pandanganku kepada dunia, Aku menahan hasratku kepada isi dunia dan
Aku menutup telingaku kepada cerita dunia. Aku membuka hatiku kepada cinta-Nya,
Aku mengangkat dan menadahkan tanganku kepada karunia-Nya, Aku menegakan
pandanganku kepada kebesaran-Nya, Aku membuka mulutku kepada ayat-ayat-Nya, Aku
membuka telingaku kepada perintah-Nya dan Aku menundukan kepalaku kepada kasih
sayang-Nya.
Tiga
tahun berlalu, Aku dengan hijrahku. Aku kembali ketempat dimana Aku pertama
kali menemukan hatiku. Aku kembali bertemu dengan dia, ia penuntun syurgaku.
Tak banyak kata yang ia ucap, tak banyak sikap yang ia lakukan. Hanya lantunan
tilawahnya yang kembali membuat hatiku bergetar. Sosok yang membuat Aku bangkit
dari keterpurukan ku, sekalipun Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Ia
menyapaku dengan salam, menegurku dengan senyuman. Ia menghampiriku bersama
dengan seorang ustadz yang selama ini menuntun ku untuk berhijrah. Seketika itu
Aku mengenalnya dengan sebuah Nama.
Seminggu
berlalu, ia datang ke rumahku dengan ustadz yang mengantarnya. Entah apa yang
membawanya sampai ke tempatku. Ia menemui Ibu ku dan berbicara dengannya. Aku
yang hanya bisa melihatnya dari ruang yang berbeda, tak henti bertanya-tanya
dengan tujuannya singgah disini. Seketika ibu memanggilku untuk menemuinya. Aku
menundukan pandanganku terhadapnya. Tidaklah Aku duga ia datang untuk mengajak
berta’aruf. Aku tersenyum dalam hatiku, dengan bissmillah Aku menerima ta’aruf
nya. Sungguh Allah telah mempertemukan Aku dengan penuntun Syurgaku. Sekalipun
ia tau masa kelam ku, ia menerima ku dengan lapang dada. Aku bersyukur sejak
pertama Allah mempertemukan Aku dengan dia. Dia yang membuat Aku jatuh cinta
kepada Allah. Dia yang membuat Aku merasa menjadi Kekasih Allah. Dia yang
menuntuku menjadi lebih baik. Dia yang menuntuku dalam rangkulan-Nya.
~The
End~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar